Mancing Mania

A Bad Day Fishing Is Better Than A Good Day At Work

Kamis, 17 Maret 2011

Tsunami Jepang

Tsunami Tidak Pengaruhi Bantuan ke Indonesia
Jepang adalah pemberi bantuan terbesar bagi Indonesia di berbagai program pembangunan.

Gempa dan tsunami yang menerpa Jepang tidak dipungkiri merugikan negara tersebut hingga triliunan rupiah. Namun, hal ini tidak membuat pemerintah Jepang mengurangi dana bantuannya kepada Indonesia.

Wakil Menteri Luar Negeri Jepang, Makiko Kikuta, usai pertemuan dengan menlu Indonesia Marty Natalegawa di kemlu, pada Rabu, 16 Maret 2011, menyampaikan bahwa bencana tsunami tidak akan merubah anggaran Bantuan Resmi Pembangunan (ODA) yang setiap tahunnya diberikan kepada Indonesia. Pemerintah Jepang tetap akan meneruskan bantuan tersebut.

"Keinginan pemerintah Jepang untuk meningkatkan kemitraan strategis dengan Indonesia tidak akan berubah," ujar Kikuta.

Gempa dan tsunami Jepang terjadi pada Jumat pekan lalu, menewaskan ribuan orang dan ribuan lainnya masih hilang. Badan perhitungan kerugian internasional AIR Worldwide, dilansir dari laman Washington Post, memperkirakan kerugian mencapai hingga US$35 miliar atau sekitar Rp307 triliun.

Namun, kerugian tidak akan menghalangi program bantuan berikutnya. Dalam waktu dekat, ujar Kikuta, pemerintah Jepang bahkan akan memberikan pinjaman dalam bentuk Yen kepada pemerintah Indonesia. Kikuta tidak menyebutkan jumlah pinjaman dimaksud.

"Dalam waktu dekat, pemerintah Jepang berencana untuk berikan pinjaman dalam bentuk yen untuk pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia. Jepang akan terus bekerjasama untuk pembangunan infrastruktur dan iklim investasi di Indonesia," ujar Kikuta.

Jepang adalah negara pemberi bantuan terbesar kelima di dunia. Dilansir dari laman resmi ODA Jepang, Indonesia adalah negara penerima bantuan terbesar Jepang, dan Jepang adalah negara pemberi bantuan terbesar bagi Indonesia dengan total bantuan sebesar US$29,5 miliar atau sekitar Rp259 triliun dari tahun 1960 hingga 2006.

Untuk tahun anggaran ODA 2009-2010, pemerintah Jepang memberikan bantuan pinjaman kepada pemerintah Indonesia sebesar 113,94 milyar Yen atau sekitar Rp12,5 triliun, dan bantuan hibah sebesar 5,08 miliar Yen atau sekitar Rp562 miliar.

Dana bantuan pinjaman dan hibah tersebut digunakan untuk berbagai proyek pembangunan, diantaranya adalah pembangunan Lumut Balai Geothermal Power Plant Project dan pembangunan beberapa jembatan di daerah timur Indonesia. (sj)

• dikutip dari  VIVAnews

Akankah Bencana Jepang Ancam Industri Nuklir?


Krisis nuklir Jepang akan membawa beberapa pelajaran penting bagi industri nuklir global.

Ledakan di reaktor pertama, kedua, dan ketiga di kompleks nuklir Daiichi Fukushima, Jepang, telah membawa kembali perhatian dunia terhadap kelangsungan tenaga nuklir. Ledakan yang dipicu kegagalan sistem pendinginan akibat gempa dan tsunami itu, telah menimbulkan kecemasan para pelaku serta investor industri nuklir. Tak terkecuali, negara-negara yang sedang merencanakan pembangunan.

Pemerintah Jepang telah meyakinkan rakyatnya bahwa bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari pelepasan uap radioaktif itu sangat rendah. Dinding tebal penahan reaktor tampaknya dalam kondisi baik, sehingga belum jelas dampak terhadap kesehatan, lingkungan, dan masa depan industri itu.

Selama beberapa dekade, catatan keamanan tenaga nuklir Jepang tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, para pendukung tenaga nuklir selalu merujuk ke Jepang --yang berlokasi di cincin api Pasifik, tempat di mana gempa sering terjadi.

Jepang dianggap telah mampu mengembangkan rangkaian pendayagunaan nuklir yang kuat baik dari perancangan, manufaktur, konstruksi, operasi, hingga pemeliharaan.

Dampak Terhadap Industri Nuklir
Kekhawatiran terhadap pemanasan global dan kebutuhan energi dalam beberapa tahun terakhir ini telah membawa kebangkitan nuklir. Sebanyak 56 reaktor nuklir dibangun pada 2010, di mana kawasan Asia Pasifik termasuk China, India, Korea, dan Taiwan memiliki lebih dari separuh proyek pembangkit ini.

Beberapa negara lain di Timur Tengah yang kaya minyak, negara-negara berkembang di Kawasan Asia Selatan dan Asia Pasifik, serta negara maju di Amerika Utara dan Eropa telah mengembangkan rencana serius pembangunan pembangkit nuklir.

Hal ini menunjukkan masa depan dari beberapa pemain raksasa nuklir seperti Areva, Hitachi-GE, dan Toshiba-Westinghouse terlihat sangat cerah. Pemain global lainnya termasuk Doosan Korea, Rusia Rosatom berharap dapat mencapai kesepakatan dengan pemerintah setempat.

Namun, apakah bencana Fukushima mengancam kelangsungan pembangkit nuklir global? Sangat sulit menilai dampak yang ditimbulkan terhadap kejadian yang masih berlangsung. Namun, beberapa dampak jangka pendek mungkin terjadi, seperti:

Tinjauan ulang terhadap proses keselamatan terhadap semua Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang beroperasi, apakah mereka berada di zona rawan gempa atau tidak, cenderung akan ditinjau secara komprehensif. Lebih banyak skenario risiko, semakin lebih baik. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) kemungkinan akan memainkan peran besar dalam keselamatan ini.

Dampak selanjutnya adalah biaya asuransi. Biaya asuransi semua hal yang berhubungan dengan nuklir akan meningkat. Akibatnya menaikkan biaya listrik.

Rencana negara-negara membangun nuklir, kemungkinan banyak ditentang. Jerman telah mengumumkan penundaan tiga bulan atas rencananya itu. Beberapa negara juga kemungkinan akan mengumumkan tinjauan ulang kebijakan tenaga nuklir, terutama jika krisis di Jepang berlangsung lama.

Pasar saham perusahaan teknologi nuklir dan pendukungnya juga cenderung terpukul besar. Saham General Electric, pemasok reaktor di Fukushima telah mengalami penurunan yang signifikan.

Dampak lain adalah persepsi publik. Persepsi publik terhadap tenaga nuklir kemungkinan akan tercoreng, setidaknya dalam jangka pendek. Ini berarti pemerintah di seluruh dunia akan menunda beberapa keputusan penting nuklir, sampai pemberitaan menyurut.

Bencana di Jepang akan mendorong pergeseran perhatian ke teknologi alternatif, seperti pembangkit tenaga air dan batu bara bersih. Lebih spesifik, pengembangan teknologi batu bara bersih seperti Carbon Capture and Sequestration (CCS) dan Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) akan lebih diutamakan.

Kita telah melihat kembalinya industri tenaga nuklir setelah bencana Three Mile di Amerika Serikat dan Chrenobyl di Ukraina, meskipun harus melalui jalan yang panjang hingga tahap pemulihan.

Jika pemerintah Jepang berhasil mengantisipasi kerusakan dan menjaga kepercayaan publik, sangat mungkin pembangkit nuklir Fukushima dan industri nuklir global akan mampu melewati krisis terburuk dalam sejarah ini.

Sebaliknya, jika situasi Fukushima tidak terkendali, kemungkinan besar industri nuklir akan mengalami guncangan hebat, setidaknya untuk jangka pendek dan menengah.

Krisis ini akan membawa beberapa pelajaran penting bagi industri nuklir, di antaranya harus meningkatkan keamanan pada desain, operasi, dan pemeliharaan. Biaya pembangunan dan pengoperasian pembangkit nuklir dapat meningkat signifikan, namun industri ini tidak hilang dari pasaran. (art)


Ravi Krishnaswamy, Vice President, Energy, & Power Systems Practice, Asia Pasifik, Frost & Sullivan.
dikutip dari VIVAnews