Mancing Mania

A Bad Day Fishing Is Better Than A Good Day At Work

Jumat, 15 April 2011

Ekspor Ikan Sidat (Anguilla bicolor)

Potensi Ikan Sidat Untuk Ekspor



Warnanya coklat berkilau kemerahan setelah dicelup ke dalam saus kecap manis dan dipanggang, apalagi jika disajikan bersama nasi, sudah pasti akan membuat lapar orang yang melihatnya.

Unadon jika menu ini disajikan bersama nasi atau Kabayaki merupakan makanan favorit dan terhormat di Jepang sejak abad ke-17 dan dimakan selama musim panas sampai sekarang, khususnya pada hari istimewa yang disebut "doyo-no ushi-no-hi".

Harganya di restoran Jepang pun termasuk yang termahal dibanding menu lainnya dengan mematok tarif 1.000 yen seporsi atau sekitar Rp90 ribu masakan ini dihidangkan pada pertemuan-pertemuan pebisnis besar atau tokoh-tokoh penting.

Makanan yang dikenal penuh gizi ini dimasak dari sejenis ikan berbentuk ular dengan sirip di punggung dan dada bernama unagi (Anguilla japonica).

Masyarakat Jepang, menurut peneliti kelautan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Iwan Eka Setiawan, merupakan konsumen ikan sidat terbesar dunia, dimana setiap tahunnya membutuhkan 150 ribu ton dari 250 ribu ton kebutuhan dunia.

"Padahal produksi negara sakura itu hanya 21 ribu ton per tahun. Sehingga sisanya dipasok dari China yang pada 2002 sudah menghasilkan 163 ribu ton per tahun, diikuti Taiwan yang memproduksi 34 ribu ton, Korea 2.500 ton, juga negara-negara Eropa seperti Belanda, Itali, Denmark dan Inggris yang total produksi dan konsumsinya sampai 10 ribu ton," katanya.

Meski populer dan digemari di sejumlah negara lain, ikan yang di Indonesia dinamai dengan ikan sidat tersebut ternyata belum banyak dikenal masyarakat di tanah air apalagi menjadi lauk sehari-hari.


Populasi Menurun
Dalam beberapa tahun terakhir, populasi sidat populer dunia seperti Anguilla Japonica, Anguilla anguilla danAnguilla rostrata mulai menurun drastis karena konsumsi berlebihan, ditambah siklus hidup yang rumit menyebabkan stok benih budidaya ikan ini masih mengandalkan hasil tangkapan alam.

Ikan sidat (Anguilla sp) membutuhkan lokasi laut dalam untuk berpijah, setelah dari telur menjadi berbentuk larva, ia kemudian terbawa ke pantai menjadi glass eel dan menjadi elver yang mulai hidup di air payau, ia mulai tumbuh dewasa dan mencari air tawar sungai dan kembali lagi ke laut dalam untuk berpijah sekali sebelum mati.

Menurunnya produksi sidat membuat dunia mulai melirik ke spesies sidat tropik di Indonesia yang ternyata merupakan pusat sidat dan memiliki 12 spesies dari 18 spesies yang ada di dunia.

Akibatnya, ujar Iwan, banyak terjadi penyelundupan benih sidat Indonesia ke Jepang dan China, khususnya karena adanya SK Mentan no 214/Kpts/Um/V/1973 dan dikuatkan Permen Kelautan dan Perikanan no 18/Men/2009 yang melarang pengiriman benih sidat ke luar wilayah RI.

"Pasal dalam aturan itu hanya mengizinkan ekspor sidat dengan panjang 35cm dan atau berat sampai 100 gram per ekor atau berdiameter 2,5cm, dan dimaksudkan agar elver alam sebagai sumber benih budidaya sidat harus dipelihara dulu sampai ukuran tertentu untuk memberi nilai tambah kepada nelayan sebelum diekspor," katanya.

Hanya saja sangat disayangkan karena aturan yang sudah bagus itu tidak dibarengi dengan solusi teknis bagaimana melakukan pembesaran sidat, maka aturan itu sulit diaplikasikan dan membuka peluang ekspor ilegal benih sidat (elver) ke luar wilayah RI.

"Harga elver tentu saja tak sebanding dengan harga sidat dewasa, dimana 1kg elver yang isinya lebih dari 5.000 ekor hanya dihargai beberapa puluh ribu rupiah saja," katanya.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, menurut peneliti aquakultur dari (BPPT) Dedy Yaniharto, spesies sidat perlu diperkenalkan kepada masyarakat seperti komoditas ikan lainnya yang sudah lebih dulu populer dan mampu mendongkrak devisa seperti udang, ikan nila, hingga kerapu.

"Komoditas ini meski tak dikenal di dalam negeri tapi sangat besar potensinya untuk ekspor, sehingga budidayanya perlu mulai digalakkan untuk menambah penghasilan nelayan," kata Dedy.

Ikan sidat tropis Indonesia ditemui di sepanjang pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatra yakni Anguilla bicolor bicolor, sedangkan A interioris dan A obscura di perairan sebelah utara Papua, dan A marmorata yang tersebar luas di pesisir Sulawesi, Kalimantan hingga perairan Maluku.

"Salah satu lokasi yang dinilai cocok dijadikan kawasan budidaya ikan sidat, adalah kawasan laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap dengan jenis unggulan Anguilla bicolor bicolor yang mirip dengan Anguilla Japonica, ikan sidat yang digemari di Jepang, dan rasanya lebih enak," tambah Iwan.

Proyek Percontohan

Untuk menggalakkan budidaya sidat di Indonesia, saat ini BPPT sedang membuat suatu proyek percontohan pembesaran benih sidat di Desa Panikel, Cilacap, ujar peneliti biologi reproduksi hewan BPPT Dr. Odilia Rovara.

Untuk keperluan ini, Odilia bahkan telah melakukan uji coba maskulinasi atau teknologi penjantanan dengan injeksi hormon ke elver sidat yang belum memiliki jenis kelamin berhubung pejantan sidat sangat sulit ditemui.

Pihaknya juga sudah melakukan uji coba pemeliharaan elver sidat (masih sebesar korek api seberat 5-25 gram) di bak-bak fiber hingga memeliharanya secara "outdoor" dengan komposisi pakan tertentu yang mengandung protein hingga 45 persen di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, sehingga menjadi sidat dewasa ukuran tertentu yang siap jual, ujarnya.

Sejak dua dekade lalu sampai saat ini di muara sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, masyarakat sudah biasa menangkapi "glass eel" atau elver dan sangat disayangkan jika akhirnya hanya dijual begitu saja ke penampung untuk diekspor ilegal, tambah Iwan lagi.

Sedangkan di Segara Anakan, Cilacap, nelayan setempat sulit mendapatkan glass eel dan elver karena sulitnya medan, namun biasa menangkap sidat dewasa berukuran 100-3.000 gram dengan menggunakan alat pancing dan bubu untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

"Sejauh ini kami masih menggunakan benih elver yang ada di alam untuk dibesarkan di kawasan percontohan ini, karena pembenihan sidat sangat sulit terkait kebutuhan telur sidat akan kondisi laut dalam. Bahkan di Jepang sekalipun pembenihan sidat belum dilakukan karena kesulitan ini," katanya.

Menurut Dedy, pembesaran elver sidat menjadi yellow eel dan silver eel lalu menjadi sidat dewasa untuk diekspor akan cukup menguntungkan bagi nelayan daripada dengan hanya menjual elvernya ke penampung.

Namun pemerintah, ujar Iwan, perlu turun tangan untuk membangunkan fasilitas pendederan dan pembesarannya, memberi peluang kredit untuk biaya operasionalnya serta melatih para nelayan, sehingga usaha budidaya ikan sidat bisa sukses seperti budidaya ikan populer lainnya.

"Apalagi pasarnya sudah jelas. Ini tentu akan menambah pendapatan nelayan dan meningkatkan devisa negara,"

sumber (ANTARA News)

Rabu, 13 April 2011

Ikan Sidat Nusantara

SEKILAS IKAN SIDAT INDONESIA


Perubahan iklim telah mengubah pola migrasi ikan sidat di perairan laut Kepulauan Indonesia. Jika biasanya ikan ini hanya bisa dilihat di laut selama setengah tahun, namun saat ini belut laut ini muncul sepanjang tahun.

Bentuknya seperti ular. Namun secara biologis karena memiliki insang dan sirip dia masuk kelompok ikan. Orang Indonesia biasa menyebutnya ikan sidat (belut laut tropis) atau bahasa latinnya anguilla sp. Jarang sekali ikan ini dikonsumsi oleh orang pribumi. Meski demikian, jangan remehkan ikan ini dari bentuknya. Sebab kandungan nutrisi ikan ini berada di atas rata-rata semua jenis ikan. Bahkan, di Eropa, Amerika, dan Jepang ikan ini laris manis dan menjadi konsumsi dari kalangan menengah ke atas karena harganya cukup mahal.

Bahkan sebagian orang Jepang percaya bahwa dengan mengonsumsi ikan ini bisa menambah stamina dan memperpanjang umur. Meskipun terkesan hanya sebagai mitos, namun secara medis ikan ini memang memiliki kandungan nutrisi protein, karbohidrat, serta omega 3 yang tinggi. Sehingga menguatkan fungsi otak dan memperlambat terjadinya kepikunan. Indonesia memiliki potensi sebagai penghasil ikan sidat jenis tropis yang melimpah.

Menurut Peneliti Bidang Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hagi Yulia Sugeha menyatakan RI berpotensi menjadi penghasil ikan sidat terbesar di dunia. Sebab, ikan sidat jenis tropis yang ada di perairan laut Indonesia memiliki karakter yang unik. Sidat betina tropis memiliki kemampuan reproduksi sembilan kali lebih banyak ketimbang jenis ikan sidat dari lintang tinggi. Ini bisa dilihat dari jumlah telur yang dibawa dalam perutnya. Selain itu kemampuan memijahnya pun sepanjang tahun. Dengan kemampuan bertelur mencapai ratusan ribu bahkan jutaan telur, maka ikan ini sangat potensial untuk dibudidayakan.

"Ikan sidat merupakan menu paling mahal di Jepang disebut sebagai unagi tahun 2000-an harga ikan ini di pasar 700 yen per ekor (saat itu sekira Rp490 ribu per ekor). Tapi kalau sudah diolah yang siap makan di restoran harganya 5.000 yen per porsi. Itu hanya orang kaya yang beli padahal hanya 1 potong," katanya.

Meski demikian, kata dia, ikan sidat kini mulai menunjukkan pola hidup yang berbeda. Menurut Yulia, ini bisa disebabkan oleh perubahan iklim atau kondisi air yang tercemar. Selama ini dilaporkan ikan ini akan muncul di lautan hanya setengah tahun. Namun ternyata berdasarkan penelitian yang dia lakukan di Muara Sungai Poigar sebelah utara pulau Sulawesi, ikan ini bisa muncul sepanjang tahun. Selain itu, komposisi spesies ikan sidat yang masuk ke perairan laut Indonesia pun bisa berbeda. Dalam satu tahun bisa dominan sidat jenis spesies celebesensis, sedang tahun berikutnya bisa dominan marmorata.

Pengamatan yang dilakukan Yulia bersama empat peneliti dari Jepang selama kurun 1997-1999, terungkap bahwa pola migrasi sidat Muara Sungai Poigar Sulawesi tercatat ada tiga karakter spesies sidat yang melimpah. Yakni, jenis anguilla celebesensis, marmorata, dan bicolor pacifica. Selama tiga tahun penelitian celebesensis merupakan spesies paling melimpah dengan angka 73,5 persen, 79,5 persen, dan 81,9 persen. Marmorata merupakan spesies dengan kelimpahan nomor dua dengang persentase 23,8 persen, 18,8 persen, dan 17,7 persen. Sedangan bicolor pasifika hanya 2,7 persen, 1,7 persen, dan 0,3 persen.

"Selama awal bulan, belut laut ini tampak lebih melimpah saat laut pasang ketimbang saat surut. Dari hasil penelitian ini menemukan bahwa ikan sidat akan menjadi melimpah saat awal bulan dan saat laut pasang," katanya.

Namun selama empat tahun terakhir penelitian yang dilakukan Yulia bersama tim peneliti LIPI, ditemukan pola migrasi yang berbeda dari ikan ini.

Menurut dia, ikan sidat telah mengubah tingkah laku migrasi. Dia bersama tim peneliti baru saja melaporkan tentang perubahan dominasi spesies. Celebesensis yang sebelumnya tampak melimpah kini telah digantikan oleh marmorata. Toh meskipun, kata dia, dalam bermigrasi celebesensis memang lebih dekat ke Indonesia dibandingkan marmorata dan bicolor pasifika.

"Kami menduga perubahan siklus ini karena dia mengikuti siklus perubahan iklim. Jadi mungkin 10 tahun kemudian bisa jadi celebesensis akan dominan lagi. Lha kalau dipengaruhi lagi oleh perubahan iklim itu bisa berubah sebab spesies yang bermigrasi sangat erat kaitannya dengan perubahan iklim atau lingkungan. Jadi apabila lingkungan berubah, maka pola migrasinya juga akan berubah. Misalnya sungainya rusak, tercemar dan lainnya," paparnya.

Para ilmuwan memang sudah terlanjur khawatir. Bahwa pada 2030 mendatang diperkirakan banyak spesies akan punah. Namun kenyataannya dilaporkan bahwa Indonesia merupakan tempat bagi tujuh dari 18 spesies ikan sidat yang ada di dunia.

Bahkan hasil penelitian yang dilakukan Yulia dan Tim LIPI menemukan lima jenis spesies baru yang karakternya belum pernah di laporkan ada di dunia. Sehingga berpeluang menjadi spesies baru di luar angka 18 spesies yang telah tercatat tersebut. Selain itu, dia menemukan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi tempat tinggal tujuh spesies sidat, namun juga ditemukan dua spesies lainnya yang termasuk bagian dari 18 spesies tersebut. Artinya Indonesia berpeluang ditempati sembilan spesies sidat yang pernah dikenal di dunia.

Tidak hanya itu, spesies moyang dari sidat yakni anguilla borneensis merupakan spesies yang hanya ada di Indonesia dan statusnya sudah endemis atau terancam punah. Wilayah Indonesia memang sangat memungkinkan sebagai tempat favorit sidat, karena karakter ikan sidat yang suka bertelur di wilayah gugusan pulau. Selain itu banyaknya gunung dan danau merupakan surga bagi ikan ini. Yulia bersama Tim peneliti sempat menemukan ikan sidat yang sudah berumur 15 tahun dengan ukuran panjang 1,72 meter dan berat 15 kg. Tingkat pertumbuhannya memang tinggi di daerah tropis.

"Curiga saya jangan-jangan 18 spesies dunia awal penyebarannya dari Indonesia kemudian menyebar ke daerah lain," katanya.

Mempelajari pola karakter hidup ikan sidat memang unik. Ikan ini bisa hidup di air tawar maupun asin, dipercaya inilah yang menyebabkan metabolisme dan daya tahan tubuh ikan ini menjadi tinggi sehingga kandungan nutrisinya pun tinggi. Ikan sidat dewasa akan bereproduksi di laut. Sementara jutaan anakan-anakan ikan ini akan bermigrasi mencari muara dan menuju air tawar dan tinggal di sana selama bertahun-tahun.

Setelah dewasa sidat akan kembali mencari laut untuk bereproduksi begitu terus siklusnya. Ini terbalik dari ikan salmon yang justru mencari air tawar untuk melakukan reproduksi, dan anak-anaknya yang akan bermigrasi mencari laut.

Namun menurut Yulia, memang ada yang berubah dari pola migrasi sidat. Temuan lain yang dia dapatkan bersama tim peneliti adalah pola migrasi yang tidak sama antara Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.

Penelitian yang dilakukan secara serentak di tiga wilayah tersebut dengan melibatkan banyak anggota tim peneliti menemukan bahwa musim kemarau merupakan puncak kelimpahan sidat di Indonesia bagian tengah yakni pada bulan April - Oktober. Namun kebalikannya, justru Indonesia bagian barat dan timur kelimpahannya rendah saat musim kemarau.

"Jadi kemungkinan ketemu kelimpahannya di musim penghujan. Nah implikasinya buat pengelolaannya tidak boleh sama. Kebiasaan di Indonesia, jika satu budi dayanya seperti ini maka yang lainnya juga sama. Padahal musimnya saja beda," paparnya.

Hingga saat ini, memang eksploitasi ikan sidat masih mengandalkan hasil tangkapan alam. Biasanya ikan sidat ditangkap saat anakan untuk kemudian diekspor atau pada ukuran yang sudah besar. Meskipun di Indonesia potensinya memang melimpah dan belum tergali, namun menurut Yulia hingga saat ini belum ditemukan lokasi di mana ikan sidat ini bertelur dan bereproduksi. Jika sudah ditemukan lokasi dan karakternya, tentu akan sangat membantu pengembangan budi dayanya.

Selain itu, dia mengkhawatirkan masih ada spesies lain ikan sidat di negeri ini yang belum ditemukan. Kekhawatirannya spesies tersebut sudah punah lebih dulu sebelum dilakukan pencatatan akibat eksploitasi yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan ikan ini.

dikutip dari : (Abdul Malik / Sindo / mbs)

Ikan Sidat

SEJARAH PENELITIAN TENTANG SIDAT
Ikan sidat (Ordo Anguiliformes)






         
Sidat merupakan ikan, berbentuk panjang bertulang tipis ordo Anguilliformes. Karena nelayan dahulu tidak pernah mengetahui anakan sidat, siklus hidup sidat adalah misteri untuk jangka waktu yang sangat panjang dalam sejarah ilmiah perikanan. Meskipun sekarang ada lebih dari 6500 publikasi tentang sidat, banyak sejarah hidupnya tetap menjadi teka-teki.

Sidat Eropa (Anguilla Anguilla) adalah sidat yang paling dikenal bagi ilmuwan Barat, dimulai dengan Aristoteles yang melakukan penelitian sidat, diketahui sebagai penelitian pertama. Dia menyatakan bahwa sidat lahir dari "cacing tanah", yang muncul dari lumpur tanpa bantuan pupuk. Untuk waktu yang lama, tak ada yang bisa membuktikan Aristoteles salah. Kemudian para ilmuwan mempercayai bahwa ikan eelpout (Zoarces viviparous) adalah "Induk Sidat" (terjemahan Jermannya "Aalmutter").

Pada 1777, Carlo Mondini dari Italia menemukan gonad sidat dan membuktikan bahwa sidat adalah ikan. Pada tahun 1876, Sigmund Freud mahasiswa Austria membedah ratusan sidat dalam mencari organ seks jantan. Dia mengakui kegagalannya dalam terbitan hasil riset pertamanya, dan mencari isu-isu lain tentang sidat dalam kefrustasiannya.

Sampai tahun 1893, larva sidat yang transparan, berbentuk daun sepanjang dua inci (lima cm) di samudera - dianggap sebagai spesies terpisah, yaitu Leptocephalus brevirostris (dari leptocephalus Yunani yang berarti "tipis-atau berkepala-pipih").

Pada tahun 1886, Zoology Perancis Yves Delage memelihara leptocephali dalam sebuah tangki laboratorium di Roscoff sampai berubah menjadi anak sidat, dan pada tahun 1896 zoologi Italia

Giovanni Battista Grassi mengamati transformasi Leptocephalus ke anak sidat yang ditempatkan dalam wadah kaca bundar di Laut Mediterania, dan mengakui pentingnya air garam pada proses transformasi tersebut. Meskipun sesudah penemuan ini, nama leptocephalus masih digunakan untuk larva sidat.

Melacak Daerah Sidat Memijah

Profesor Johannes Schmidt dari Denmark, sejak tahun 1904, banyak melakukan ekspedisi di Laut Mediterania dan Atlantik Utara, sebagian besar dibiayai oleh Yayasan Carlsberg. Beliau menduga dari kesamaan dari semua leptocephali, ia berasumsi semua anakan sidat harus berasal dari spesies induk yang sama. Semakin jauh ke Samudera Atlantik kapal penelitian diarahkannya, semakin kecil leptocephali ia tangkap. Akhirnya, pada tahun 1922, di selatan Bermuda di Laut Sargasso ia berhasil menangkap sidat terkecil berbentuk-larva.
Namun, Schmidt tidak dapat mengamati pemijahan secara langsung, ia juga tidak menemukan indukan dewasa sidat bertelur. Dari distribusi ukuran leptocephali yang ia kumpulkan, Schmidt merumuskan hal ini dari sejarah kehidupan sidat:

Larva sidat Eropa dibawa oleh Gulf Stream menyeberangi samudera dan setelah satu sampai tiga tahun, leptocephali sidat mencapai ukuran 75 - 90 mm sebelum mereka mencapai pantai Eropa. Nama umum untuk tahap recruiment sidat adalah sidat kaca (glass eel), berdasarkan pengamatan tubuhnya yang transparan.

Salah satu tempat terkenal untuk pengumpulan besar-besaran dari glass-eel (Deli-Food dan Stocking) ada di Epney di Severn Inggris. Glass eel juga dimakan sebagai makanan di Spanyol. Begitu mereka memasuki daerah-daerah pesisir mereka bermigrasi masuk sungai-sungai, mengatasi segala macam tantangan alam - kadang-kadang dengan menumpuk tubuh mereka satu sama lain puluhan ribu glass eel memanjat rintangan - dan mereka mencapai bahkan sungai terkecil.

Mereka dapat bergerak sendiri di atas rumput basah dan menggali melalui pasir basah untuk mencapai hulu-hulu sungai dan tambak, sehingga memasuki seluruh benua eropah. Di air tawar mereka mengembangkan pigmentasi, berubah menjadi elvers (sidat muda) dan makan makhluk kecil, kerang, cacing dan serangga. Mereka tumbuh di tahun ke 10 sampai tahun ke 14 dengan panjang 60 sampai 80 cm. Pada tahap ini mereka sekarang disebut sidat kuning (Yellow Eels) karena pigmentasi emas (golden pigmentation) mereka.

Pada bulan Juli beberapa sidat dewasa bermigrasi kembali ke laut, bahkan melintasi padang rumput basah di malam hari untuk mencapai sungai yang mengarah ke laut. Eel ber-migrasi keluar dari habitat air tawar, mereka muncul dari berbagai penjuru Eropa, atau melalui Laut Baltik di sabuk Denmark (Danis belts) menjadi wadah penangkapan ikan secara tradisional dengan jaring.

Bagaimana sidat dewasa melakukan perjalanan laut sejauh 6.000 km (4.000 mil) kembali ke tempat mereka memijah di utara Antilles, Haiti, dan Puerto Rico tetap tidak diketahui. Pada saat mereka meninggalkan benua sidat bergantung dari energi cadangan yang tersimpan. Tampilan luar sidat mengalami perubahan dramatis lain juga: Ukuran mata mulai untuk membesar, pigmen mata berubah untuk melihat secara optimal dalam cahaya redup laut biru yang jernih, dan tubuh samping sidat berubah keperakan, untuk menciptakan pola countershading untuk membuat sidat sulit dilihat oleh pemangsa di laut selama masa migrasi yang panjang ke samudera. Sidat yang bermigrasi ini biasanya disebut "Silver Eels" atau "Big Eyes".

Ahli biologi perikanan Jerman Friedrich Wilhelm Tesch, ahli sidat dan penulis buku "The Eel" (ISBN 0-632-06389-0), yang melakukan banyak ekspedisi dengan instrumentasi berteknologi canggih untuk mengikuti migrasi sidat, pertama kali mulai dari Baltik, sepanjang pantai Norwegia dan Inggris, tapi akhirnya sinyal pemancar hilang ketika baterai habis. Menurut Schmidt kecepatan perjalanan di laut diasumsikan 15 km per hari , sehingga silver eel akan membutuhkan 140-150 hari untuk mencapai Laut Sargasso dari sekitar Skotlandia dan dalam waktu sekitar 165-175 ketika berangkat dari Selat Inggris.

Tesch รข€" seperti hal nya Schmidt - terus berusaha membujuk sponsor untuk memberikan lebih banyak dana untuk ekspedisi. Proposalnya adalah untuk melepaskan lima puluh Sidat Perak dari perairan Denmark dengan pemancar yang akan terlepas dari sidat tiap dua hari dan mengapung lalu memancarkan informasi posisi, kedalaman dan temperatur ke satelit penerima, mungkin percobaan bersama-sama dengan negara-negara di pantai barat Atlantik. Namun untuk percobaan semacam ini baru hal tersebut yang diketahui pernah dilakukan.

Saat ini pengetahuan tentang nasib sidat perak ini setelah mereka meninggalkan landas kontinen didasarkan pada tiga sidat ditemukan dalam perut ikan laut dalam, yang mencakup paus yang tertangkap di Irlandia dan dari Azores, dan beberapa percobaan pada fisiologi sidat di laboratorium.

Ada lagi spesies Eel Atlantik: sidat Amerika, Anguilla rostrata. Sidat Eropa dan Amerika Pertama diyakini adalah spesies yang sama karena penampilan mereka yang serupa dan juga perilaku, tetapi penelitian telah menunjukkan bahwa mereka berbeda pada jumlah kromosom dan berbagai penanda genetika molekular, dan dalam jumlah tulang belakang, Anguilla Anguilla menghitung 110-119 dan Anguilla rostrata 103-110.

Sesar pemijahan untuk dua spesies berada dalam wilayah yang tumpang tindih di Laut Sargasso selatan, dengan A. rostrata tampaknya agak lebih ke arah barat dari Anguilla A., dan beberapa wadah pemijahan sidat Amerika mungkin juga ada di Peninsuala Yucatan luar Teluk Meksiko, tetapi hal ini belum dikonfirmasi. Setelah pemijahan di Laut Sargasso dan pindah ke barat, leptocephali dari sidat Amerika keluar Gulf Stream lebih awal dari sidat Eropa dan mulai bermigrasi ke muara di sepanjang pantai timur Amerika Utara antara bulan Februari dan April akhir pada usia sekitar satu tahun dan panjang sekitar 60 mm.
Daerah pemijahan dari sidat Jepang, Anguilla japonica, juga tepat terletak di sebelah barat Suruga gunung bawah laut dan leptocephali mereka kemudian diangkut ke barat ke Asia Timur oleh arus Equatorial Utara. Selanjutnya, pada bulan Juni dan Agustus 2008, ilmuwan Jepang menemukan dan menangkap sidat dewasa dari Anguilla Japonica dan A. marmorata di sebelah Barat Mariana Ridge

BERKURANGNYA GLASS-EELS

Tidak ada yang tahu alasan berkurangnya glass ells, tapi hal ini dimulai pada pertengahan 1980-an, kedatangan glasseel di musim semi turun drastis - di Jerman berkurang sampai 10% dan di Perancis menjadi berkurang 14% dari tingkat sebelumnya - bahkan dari perkiraan konservatif. Data dari Maine dan pantai Amerika Utara menunjukkan penurunan yang serupa, walaupun tidak drastis.

Pada tahun 1997 permintaan Eropa untuk sidat dapat dipenuhi untuk pertama kalinya, dan dealer dari Asia membeli semua yang mereka bisa beli. Program penyetokan Eropa secara tradisional tidak dapat bersaing lagi: setiap minggu harga untuk satu kilogram glasseel naik lagi US $ 30. Bahkan sebelum generasi 1997 sidat sampai pantai Eropa, pedagang dari Cina telah memesan terlebih dahulu sebanyak lebih dari 250.000 kg, beberapa penawaran bernilai lebih dari $ 1.100 per kg. Elvers Asia terjual di Hong Kong sebanyak $ 5,000 sampai $ 6,000 per kilogram di Amerika glass eels pada waktu itu dibeli $ 1.000 per kg bahkan berebut di lokasi penangkapan mereka. Satu kilogram, yang terdiri dari 5000 glasseels, terjual setidaknya $ 60.000 dan berharga $ 150.000 setelah keluar dari peternakan ikan di Asia. Di New Jersey lebih dari 2000 lisensi untuk menangkap glasseel telah dikeluarkan dan dilaporkan ditangkap nelayan 38 kg per malam, meskipun hasil tangkapan rata-rata sekitar 1 kg.

Permintaan untuk sidat dewasa terus tumbuh, mulai tahun 2003. Jerman mengimpor sidat senilai lebih dari $ 50 juta 2002. Di Eropa 25 juta kg dikonsumsi setiap tahun, tetapi di Jepang sendiri lebih dari 100 juta kg dikonsumsi pada tahun 1996. Karena sidat Eropa menjadi langka, minat terhadap sidat Amerika meningkat secara dramatis.

Budidaya sidat baru dengan teknologi tinggi perikanan muncul di Asia dengan efek merugikan pada sidat Jepang asli, Anguilla japonica. usaha budidaya sidat Tradisional mengandalkan elvers liar yang ditangkap. Di Jepang dengan percobaan penggunaan hormon berhasil menyebabkan sidat memijah secara buatan. Telur dari sidatt memiliki diameter sekitar 1 mm, dan sidat betina masing-masing dapat menghasilkan 2 juta sampai 10 juta telur.



Diterjemahkan secara bebas oleh Ariya Hendrawan 03-April-2011